4/7/14

Tugas Safitri Dwicahyani.






KEBIJAKAN KAWASAN
TANPA ROKOK
Tugas dikerjakan oleh:
Safitri Dwicahyani                  
NIM: 13 / 350978 / PKU / 13600
Minat Perilaku & Promosi Kesehatan
Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

Tabel 1. Pro Kontra Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

Stakeholder

Status

Penjelasan

Menteri Kesehatan

 Pro

Yang membuat peraturan.

Menteri Dalam Negeri

Pro

Yang membuat peraturan.

Gubernur

Pro

Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan KTR di kabupaten/kota.

Bupati

Pro

Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan KTR di desa/kelurahan.

Walikota

Pro

Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan KTR di desa/kelurahan.

Dinas Kesehatan

Pro

Dapat memasukkan ke programnya dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

Lembaga Pendidikan

Pro

Banyak yang sudah menerapkan kawasan bebas asap rokok.

Puskesmas

Pro

Dapat memasukkan ke programnya dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

LSM

Pro

Dapat memasukkan ke programnya dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

Komunitas yang peduli bahaya asap rokok

Pro

Sadar terhadap bahaya asap rokok.

Masyarakat yang netral

Netral

Masih banyak urusan yang perlu diurus.

Perokok

Kontra

Sebab Kawasan Tanpa Rokok, adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok.

Pabrik rokok

Kontra

Sebab Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR, adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.

Tabel 2. Skor dalam Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

Stakeholder

Pro

Netral

Kontra

Menteri Kesehatan

5





Menteri Dalam Negeri

5





Gubernur

5





Bupati

5





Walikota

5





Dinas Kesehatan

4





Lembaga Pendidikan

5





Puskesmas

4





LSM

4





Komunitas yang peduli bahaya asap rokok

4





 Masyarakat yang netral



0



Perokok





3

Pabrik rokok





4

Jumlah

46

0

7

Tabel 3. Stakeholder yang dipandang bisa diusulkan menjadi sasaran advokasi dan bisa memperkuat kubu yang mendukung

Stakeholder

Penekanan dalam advokasi

Dinas Kesehatan

Membuat pertemuan dengan Kepala Dinas Kesehatan supaya  Kawasan Tanpa Rokok  dapat dimasukkan ke programnya dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

Puskesmas

Membuat pertemuan dengan Kepala Puskesmas supaya  Kawasan Tanpa Rokok  dapat dimasukkan ke programnya dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

LSM

Diadvokasi supaya  Kawasan Tanpa Rokok  dapat dimasukkan ke programnya dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

Lembaga Pendidikan

Diadvokasi untuk menerapkan kawasan bebas asap rokok.

REFERENSI
PERATURAN BERSAMA MENTERI KESEHATAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 188/MENKES/PB/I/2011 NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAWASAN TANPA ROKOK.

Tugas dikerjakan oleh:
Safitri Dwicahyani                  
NIM: 13 / 350978 / PKU / 13600
Minat Perilaku & Promosi Kesehatan
Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.




4/2/14

KEBIJAKAN PENYEDIAAN FASILITAS UMUM BAGI PENYANDANG DIFABEL

KEBIJAKAN PENYEDIAAN FASILITAS UMUM BAGI PENYANDANG DIFABEL
TUGAS MK ADVOKASI
OLEH : RAHMA TRISNANINGSIH
NIM : 13/357202/PKU/14087

Menjadi difable (penyandang cacat) ditengah masyarakat yang menganut paham normalisme atau pemuja kenormalan, tentu menghambat ruang gerak para difable (penyandang cacat) karena semua sarana umum didesain khusus untuk orang yang bukan penyandang cacat, sehingga tidak ada fasilitas bagi difable (penyandang cacat). Kurang dihargai dalam bermasyarakat adalah sesuatu yang sering terjadi pada lingkungan difable (penyandang cacat). Pusat rehabilitasi yang diciptakan pun menjadikan mereka seolah difable (penyandang cacat) berbeda dengan orang lain.
Aksesibilitas bagi difable (penyandang cacat) dititikberatkan pada ketersediaan dan kelayakan fasilitas yang ramah difable (penyandang cacat), dimana perencana adalah subjek perancang yang bertanggung jawab terhadap aksesibilitas difable (penyandang cacat) sebagai warga Negara yang juga memiliki hak yang sama dengan warga Negara lain. (RAHAYU SUGI, UTAMI DEWI, 2014)
Jumlah difabel di Indonesia pada tahun 2007 diprediksi sekitar 7,8 juta jiwa (Suharto, Edi, 2010). Sebuah angka yang sebenarnya relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu berjumlah sekitar 220 juta jiwa. Walaupun demikian selayaknya semangat pelayanan tidak dipengaruhi jumlah besar atau kecilnya pengguna layanan. Para difabel juga merupakan warga negara Republik Indonesia yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijamin untuk memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan warga negara lainnya. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu Pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang cukup kepada para difabel tersebut. Termasuk dalam hal aksesibilitas pelayanan publik. (UGM, 2012)

Tabel 1. Komunitas kebijakan dari kubu pendukung, netral dan penentang
Pro (pendukung)
Netral
Kontra (penentang

Penyandang difabel
Dinas pendidikan
Dinas kesehatan
LSM PEDULI DIFABEL
DINAS PU
BIROKRAT
Dinas perhubungan
Dinas sosial dan tenaga kerja















































PEMDA
DPR/ DPRD

BAGIAN KEUANGAN/DEPARTEMEN KEUANGAN
MASYARAKAT/ SDM

CATATAN : Istilah difabel berasal dari bahasa Inggris dengan asal kata different ability, yang bermakna manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah tersebut digunakan sebagai pengganti istilah penyandang cacat yang mempunyai nilai rasa negative dan terkesan diskriminatif. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan ataupun ke’abnormal’an.
TABEL 2. Pendukung, sikap netral dan penentang penyediaan fasilitas bagi kaum difabel
No
STAKEHOLDER
STATUS
KEPENTINGAN
1
PENYANDANG DIFABEL
PRO
Mendapat kenyaman yang sama dengan masyarakat dengan kondisi normal
2
DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA
PRO
Program pemberdayaan keluarga difabel, pemberian alat bantu bagi kaum difabel
Pembinaan angkatan kerja khusus dimana didalam nya terdapat penyandang difabel
3
DINAS PENDIDIKAN
PRO
Sekolah model inklusi yaitu memberikan akses yang sama dalam pendidikan sehingga adanya interaksi sosial antara masyarakat dan penyandang difabel
4
DINAS PERHUBUNGAN
PRO
Membuat sarana transportasi mudah diakses bagi penyandang difabel
5
DINAS KESEHATAN
PRO
Memberikan jaminan kesehatan bagi penyandang difabel
6
DINAS PU
PRO
Membuat sara dan prasarana khusus bagi penyandang difabel
7
LSM PENDUKUNG DIFABEL
PRO
Menyadari pentingnya sarana umum bagi difabel, memberikan kegiatan bagi penyandang difabel
8
DPR/ DPRD
NETRAL
Membuat peraturan dan perundang undangan tentang difabel
9
PEMDA
NETRAL
Belum bagitu memahami tentang masyarakat difabel
10
MASYARAKAT/ SDM
KONTRA
Kurang nya relawan yang membantu kegiatan penyandang difabel
11
BAGIAN KEUANGAN/ DEPARTEMEN KEUANGAN
KONTRA
Selama ini anggaran yang dikhususkan dalam memenuhi kebutuhan difabel kurang mencukupi sehingga implementasi pelayanan kepada mereka kurang optimal
12
BIROKRAT
KONTRA
berpandangan bahwa urusan difabel bukanlah masalah yang penting dan mendesak.

Tabel 3. Kekuatan pendukung, penentang dan netral
No
STAKEHOLDER
pro
netral
kontra
1
PENYANDANG DIFABEL
5


2
DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA
4


3
DINAS PENDIDIKAN
4


4
DINAS PERHUBUNGAN
4


5
DINAS KESEHATAN
4


6
DINAS PU
4


7
LSM PENDUKUNG DIFABEL
4


8
DPR/ DPRD

3

9
PEMDA

3

10
MASYARAKAT/ SDM


4
11
BAGIAN KEUANGAN/ DEPARTEMEN KEUANGAN


4
12
BIROKRAT


4

Jumlah
29
6
12

Keterangan skor 1= sangat kecil, 2=kecil, 3=sedang, 4=besar , 5= sangat besar
Meskipun skor pendukung lebih besar dari pada skor penentang dan netral tetapi kerjasama lintas sektoral antar pendukung belum berjalan dengan baik, Aksesibel masih merupakan isu utama dalam gerakan difabel di Indonesia.  Aksesibilitas fasilitas umum memang merupakan kebutuhan utama dari para difabel untuk dapat mengaktualisasikan diri dan sekaligus berpartisipasi penuh dalam aktifitas bermasyarakat. Ketiadaan fasilitas umum yang aksesibel bagi para difabel ini telah menyebabkan eksklusifitas bagi para difabel di lingkungan masyarakatnya. (ANONIM, 1997)
ANONIM. (1997). JURNAL PENYANDANG DIFABEL, 1–17.DIAKSES TANGGAL 1 APRIL 2014
RAHAYU SUGI, UTAMI DEWI, M. A. (2014). PELAYANAN PUBLLIK BIDANG TRANSPORTASI BAGI KAUM DIFABEL.DIAKSES TANGGAL 1 APRIL 2014
UGM, A. (2012). ringkasan pelayanan publik bagi difabel, (25), 1–19.DIAKSES TANGGAL 1 APRIL 2014